Selasa, 15 November 2011

MK ABK (Agresifitas pada Anak)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Agresifitas
Agresivitas adalah Agresif secara psikologis berarti cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat (KBBI: 1995: 12). Defenisi melalui pendekatan perilaku, agresif adalah perilaku yang melukai orang lain. Menurut Baron & Richardson, agresif dideskripsikan sebagai segala bentuk perilaku yang di maksud untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perilaku itu.
Pada anak-anak, agresivitas dibedakan menjadi agresifitas langsung (yakni melukai, menggigit, memukul dan sejenisnya) dan agresifitas tidak langsung (yakni menghina, mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan dan merendahkan). Agresifitas ini bisa diarahkan ke orang lain atau ke diri sendiri (misalnya dengan menggigit kuku, mencabuti rambut, melukai tangan atau membenturkan kepala).
Dari jenisnya agresifitas terbagi menjadi 3 jenis, agresifitas terbuka, agresifitas tertutup atau agresifitas sekunder. Agresifitas terbuka itu yang biasanya dilakukan oleh anak-anak, sedangkan agresifitas tertutup misalnya sikap para ibu atau bapak atau bahkan dewasa yang secara agresif menghukum anak-anak dengan dalih pendidikan, kemudian agresifitas sekunder adalah agresifitas yang dipicu dari masalah lain (misalnya masalah di kantor agresifnya dikeluarkan di rumah).
Khusus untuk agresifitas terbuka pada anak-anak, seorang terapis pedagogi Jerman Jan-Uwe Rogge menilai bahwa Wut tut gut (artinya marah itu baik), karena menjadi marah itu tidak saja membutuhkan energi dan keberanian tapi juga marah adalah bagian penting untuk menjadi manusia dewasa. Sehingga ia menilai, marah atau agresifitas pada anak-anak itu sebuah kebutuhan terutama bagi anak-anak di bawah 5 tahun agar mereka lebih mengenal diri mereka sendiri, karena terkadang anak-anak menemui kesulitan untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka dalam bentuk kata-kata
. Tidak jarang juga kemarahan atau agresifitas pada anak-anak dilakukan untuk memanipulasi orang tua, karena anak-anak merasa bahwa bila mereka marah atau menjadi agresif, mereka lebih mudah mendapatkan perhatian orang tua.
            1.2   Sifat agresivitas yang biasa ditemui pada anak-anak.
        Beberapa bentuk agresivitas yang biasa ditemui pada anak-anak diantaranya :
1.      Menjambak
2.      Memukul
3.      Menggigit
4.      Merusak mainan
5.      Menyakiti binatang
6.      Mencubit
7.      Menjerit
8.      Meludah
1.3     Penyebab munculnya perilaku agresivitas pada anak
Secara umum, adapun beberapa dari Penyebab munculnya perilaku agresivitas pada anak adalah :
a.       Frustrasi , "Usia 2 atau 3 tahun merupakan usia transisi awal, yang ditandai dengan keinginan besar pada diri anak untuk menjadi mandiri. Tapi di sisi lain, kemampuan bahasa anak belumlah optimal. Kemampuan verbal dan perbendaharaan kosakatanya masih terbatas. Ia tidak bisa mengungkapkan sesuatu yang diinginkan atau yang tidak diinginkan dengan jelas alias bahasanya tidak mudah dimengerti orang dewasa."
b.      Meniru, Anak umur 3 tahun ke bawah sangat suka meniru. Semua fenomena di dalam lingkungan dipotretnya sebagai acuan untuk bersikap dan bertingkah-laku. Misalnya, saat melihat orang tua marah lalu memukul kakaknya, maka si kecil ini pun mencoba meniru perlakuan tersebut. Ia beranggapan, saat marah berarti saya boleh memukul, dong. Dalam suatu penelitian Aletha Stein (Davidoff, 1991) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar aagresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesama anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan sehari-hari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya menetap.
c.       Eksistensi Tak Diakui, Sifat agresif juga bisa muncul karena tidak ada respon atas sikapnya. Saat anak menggigit orang tua karena kesal, orang tua justru tertawa-tawa melihat sikapnya. Cara ini jelas membuat anak bingung, apakah tindakan yang dilakukan itu positif atau justru berdampak negatif? "Akibatnya, pada kesempatan lain, anak juga akan menggigit temannya jika merasa kesal atau keinginannya tak terpenuhi."
d.      Ego Masih Besar, Anak usia ini masih memandang sesuatu dari sudut pandangnya sendiri (egosentris). Saat anak menginginkan sesuatu, semua harus terpenuhi. Demikian pula saat ada mainan di hadapannya, semua harus menjadi miliknya. Bila ada yang mengganggu atau melarang dan anak merasa tak senang, maka munculah jurus agresifnya, entah memukul, menjerit, atau dilampiaskan dengan sikap negatif lainnya. Kalau ditanya, anak akan menjawab, "Ini mainanku, kok, direbut, sih."
e.       Tidak Tahu Akibat, Anak belum tahu bahwa sikap agresif tidaklah baik. Ia hanya tahu bahwa sesudah itu temannya pasti menangis, tapi hanya sebatas itu. Kalau penjelasan lewat kata-kata dirasa tidak mempan, berikan contoh konkret bahwa menggigit itu menyakitkan. Ingat, memberi contoh tidak boleh sama dengan tindakan membalas yang harus dihindari. Gigitlah tangan anak dengan pelan, setelah itu beri penjelasan, "Tuh, digigit itu sakit, kan? Makanya jangan menggigit orang sembarangan."
f.       Belajar Bertahan, Anak di usia ini sudah mulai belajar mempertahankan diri. Hal itu dilakukan jika ia merasa mendapat gangguan atau ancaman dari luar. Caranya, dengan menunjukkan perilaku-perilaku agresif. Misal, saat melihat mainannya diusik, ia akan merebutnya kembali. Kalau perlu dengan memukul atau mendorong si teman tersebut.
g.      Asyik melihat sebab akibat,Anak usia ini kadang menikmati apa yang telah dilakukannya. Saat ia melihat teman tersebut menangis akibat ulahnya, saat itulah timbul rasa senangnya. Karena asyik, maka ia akan terus melakukan perbuatan tersebut. Terlebih bila orang tua membiarkan perilaku agresivitasnya. Padahal kebiasaan ini perlu diwaspadai, karena keasyikan menyakiti orang lain akan berdampak negatif terhadap perkembangan mental anak. Bukan tidak mungkin, sifat ini akan terus terbawa hingga dewasa. Anak jadi senang menyakiti orang lain
h.      Amarah, Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi
i.        Kesenjangan Generasi, Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
j.        Proses Pendisiplinan yang Keliru , Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi anak.
Jika diuraikan berdasarkan factor penyebabnya, maka perilaku agresif disebabkan oleh :
1.      Faktor Biologis, penyebab biologis dari gangguan perilaku atau emosional. misalnya, ketergantungan ibu pada alcohol ketika janin masih dalam kandungan dapat menyebAnak berkebutuhan khususan berbagai gangguan termasuk emosi dan perilaku. Ayah yang peminum alkohol menurut penelitaian juga beresiko tinggi menimbulkan perilaku agresif pada anak. Perilaku agresif dapat juga muncul pada anak yang orang tuanya penderita psikopat (gangguan kejiwaan). Selain itu, penyakit kurang gizi, bahkan cedera otak, dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan emosi atau tingkah laku.
2.      Faktor Keluarga, seperti Pola asuh orang tua yang menerapkan disiplin dengan tidak konsisiten. Sikap permisif orang tua, Sikap yang keras dan penuh tuntutan, Gagal memberikan hukuman yang tepat, Memberi hadiah pada perilaku agresif atau memberikan hukuman untuk perilaku prososial. Kurang memonitor dimana anak-anak berada, Kurang memberikan aturan, Tingkat komunikasi verbal yang rendah, Gagal menjadi model yang baik dan Ibu yang depresif yang mudah marah.
3.      Faktor Sekolah, misalnya: teman sebaya, lingkungan sosial sekolah, para guru (model), dan  disiplin sekolah.
4.      Faktor Budaya, misalnya Pengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui penayangan kekerasan yang ditampilkan di media, terutama televisi dan film. Menurut Bandura (dalam Masykouri, 2005: 12.10) mengungkapkan beberapa akibat penayangan kekerasan di media, sebagai berikut.
·         Mengajari anak dengan tipe perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif.
·         Anda menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima.
·         Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial).
·         Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup.
  1. FaktorLingkungan 
1.             Kemiskinan , Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka anda siap-siap di serbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya
2.             Anonimitas, Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut.
3.             Suhu udara yang panas , Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujan relatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.
BAB II
PEMBAHASAN

PENANGANAN ANAK AGRESIF DI RUMAH OLEH ORANGTUA
2.1  Sifat Agresivitas Yang Biasa Ditemui Pada Anak-Anak.
1.      MENJAMBAK , Rambut menjadi sasaran empuk sikap agresif anak, karena lazimnya mudah dilihat, dijangkau, dipegang, dan ditarik-tarik oleh anak. Apalagi jika rambut yang dimiliki "lawannya" panjang dan lebat.
PENANGANAN: Orang tua hendaknya menanyakan kepada anak, mengapa ia tega menjambak rambut temannya. Bisa saja anak merasa kesal, misalnya karena pandangannya saat menonton teve terhalang oleh rambut si teman tersebut. Akhirnya, tak ada jalan lain, ia menjambak rambutnya.Setelah anak mengemukakan alasannya, jelaskan bahwa menjambak rambut bisa menyakiti sang teman. Arahkan ia agar selalu mengungkapkan keinginannya lewat kata-kata, misal, "Minggir, dong, aku enggak bisa melihat teve, nih."
2.      MEMUKUL , Inilah cara yang paling sering dilakukan anak untuk menunjukkan agresivitasnya. Apalagi selama ini banyak film beraroma keras yang ditontonnya di televisi. Tak heran jika anak merasa kesal, ia mengungkapkannya lewat cara memukul.
PENANGANAN: Cegah perilaku tersebut. Saat anak mau memukul, orang tua harus segera menangkap tangannya, lalu katakan, "Memukul itu tindakan yang tidak baik, karena bisa menyakiti. Jangan kamu lakukan itu, ya?" Beri juga batasan apa saja yang boleh dan tak boleh dilakukan saat bermain bersama teman-temannya. Jelaskan pula, kalau ia menginginkan mainan yang ada di tangan temannya, mintalah secara baik-baik. Bukannya mendorong atau memukul teman. Demikian pula jika permainan itu harus mengantri, maka orang tua menjelaskan kepada anak bahwa dirinya harus antri terlebih dulu.
Jika anak tetap juga memukul, maka orang tua harus segera membawa anak pulang ke rumah. Jangan tunggu sampai dia melakukannya 2 atau 3 kali, baru orang tua bereaksi. Anak harus tahu peraturan yang dikatakan orang tua berlaku konsisten. Ajak anak untuk berdialog. Jelaskan, dia boleh bermain mobil-mobilan lagi, asal dia berjanji tidak mengulangi tindakan agresifnya. Cara ini jauh lebih efektif daripada orang tua berteriak-teriak atau bahkan memukul anak.
3.      MENCUBIT , Meskipun jarang, cubitan juga merupakan cara ampuh bagi anak untuk "berkomunikasi" dengan teman lainnya. Apakah ia menginginkan sesuatu, kesal atau melampiaskan reaksi emosinya.
PENANGANAN: Sama dengan menangani perilaku memukul, yaitu dengan mencegah dan memberi penjelasan bahwa perilaku tersebut sangatlah buruk. Ajari juga untuk mengungkapkan keinginannya lewat kata-kata.
4.       MENGGIGIT , Menggigit adalah salah satu bentuk refleks anak saat menghadapi ancaman yang datang kepadanya. Di usia ini, fase oral masih berpengaruh. Ia akan menemukan kenikmatan lewat gigitan mulutnya. Tak jarang pula, ada rasa penasaran tentang apa yang dihadapinya, "Seperti apa, sih, rasanya kulit? Mungkin manis."
PENANGANAN: Tanyakan pada anak, kenapa dia sampai menggigit, karena bukan tak mungkin penyebabnya adalah rasa lapar. Katakan kepadanya, "Kalau kamu ingin makan, bilang saja." Penting diperhatikan, jangan sekali-sekali membalas gigitan anak dengan gigitan, karena orang tua secara tidak langsung mengajarkan cara balas dendam. Jangan sekali-kali menganjurkan anak untuk membalas apa yang telah dilakukan temannya. Kalau anak kita digigit, jangan memintanya untuk balas menggigit. Balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah.
5.      MERUSAK MAINAN, Ada juga anak yang bersikap agresif terhadap mainan. Jika disodorkan satu kepadanya, maka ia akan segera mempereteli, merusak, bahkan membanting mainan tersebut. Gejalanya, semua mainan yang disodorkan tanpa ba-bi-bu lagi akan langsung dirusaknya.
PENANGANAN: Orang tua harus jeli melihat sikap seperti ini. Bukan tak mungkin hal itu dilakukan karena didorong rasa keingintahuan yang besar. Sikap ini jelas tidak berdampak negatif, bahkan bisa mengasah kreativitas anak. Dengan cara begitu, anak jadi tahu komponen-komponen dalam mainan tersebut alias ia semakin tahu tentang mainannya. Penyebab lain, bisa saja anak sudah bosan dengan mainan-mainan tersebut. Sebelumnya, orang tua harus memberi penjelasan saat menghadiahi anaknya mainan. Terangkan, mainan ini boleh dibongkar, tapi tidak boleh dirusak. Jika tidak, anak akan berpikir, semua mainan bisa diperlakukan seperti itu.
6.      MENYAKITI BINATANG , Bisa terjadi, tangan dan kaki si batita seperti tak pernah mau berhenti menjahili binatang. Kadang memukul, menendang, menceburkannya ke air, bahkan mengikatnya di atas pohon. Agresivitas semacam ini, yang menyasar benda-benda hidup, seperti binatang memang sudah harus diwaspadai. Bisa saja di lain waktu, ia menerapkan agresivitasnya pada manusia, dan terus menjalar hingga ia dewasa kelak. Bukan mustahil kalau dibiarkan, anak akan menemukan kesenangan terhadap apa yang dilakukannya, misal senang melihat ayam yang dilemparnya berciap-ciap kesakitan. Ini, sudah tidak wajar.
PENANGANAN: Jelaskan kepada anak, binatang juga memiliki indera perasa seperti halnya manusia. Saat dipukul, dia juga akan merasa sakit, atau binatang juga merasa tidak nyaman jika diikat.
7.      MENJERIT , Menjerit merupakan salah satu ekspresi anak dalam mengungkapkan emosi. Tak jarang perilaku ini dibarengi perilaku agresif lainnya, seperti menangis, memukul dan menggigit. Biasanya, muncul saat ia menginginkan sesuatu yang tidak bisa diraih, atau saat dirinya merasa tidak diperhatikan. Misalnya, saat anak minta dibelikan jajanan, mulanya ia hanya menarik-narik baju orang tua, tapi karena tidak direspon, ia akan menjerit seraya menggigit tangannya.
PENANGANAN: Orang tua harus selalu merespon sikap anak. Jika ia menginginkan sesuatu, segera penuhi keinginannya. Jika orang tua memang menganggap permintaannya tidak perlu dipenuhi, berikan penjelasan kepadanya, seperti, "Wah, Ibu enggak bisa membelikanmu barang itu, karena terlalu mahal. Cari barang lain saja, ya?"
8.      MELUDAH , Walaupun jarang, sikap ini termasuk salah satu bentuk agresivitas yang dilakukan anak. Sikap demikian biasanya muncul pada saat ia melihat ancaman atau ketidaknyamanan terhadap dirinya. Sikap ini jelas negatif, selain menjijikkan, juga dinilai sangat tidak sopan. Sikap ini biasanya diperoleh lewat peniruan dari lingkungan.
PENANGANAN: Jika melihat kejadian tersebut, orang tua hendaknya memberikan penjelasan bahwa kebiasaan itu sangatlah buruk dan tidak pantas dilakukan. Jika tidak mempan juga, beri ia sanksi, misalnya dengan melarangnya bermain bersama mainan kesukaannya untuk sementara waktu.  
            Jadi dapat disimpulkan, bahwa langkah-langkah yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani anak yang berprilaku agresif adalah sebagai berikut :
1.      Peringatan Awal/Dini dan Batasan yang Jelas
Orangtua harus dengan JELAS dan SINGKAT menyampaikan kepada anak mengenai hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukannya di setiap kegiatan/permainan bersama dengan orang lain
2.      Cooling-Down
Begitu anak bersikap agresif, orangtua SEGERA membawa anak keluar dari tempat terjadinya agresif misalnya lapangan bola, kemudian ajaklah dia duduk bersama anda untuk melihat anak lain bermain bola. Kemudian jelaskan bahwa dia boleh bermain lagi jika dia berjanji tidak akan mengulangi tindakan agresifnya.
3.      Mengajarkan Tindakan Alternatif
TEKANKAN bahwa anak BOLEH marah, tetapi TIDAK BOLEH melampiaskannya dengan melempar, memukul ataupun menggigit. Anda bisa mengajarkan alternatif lain seperti misalnya dengan berteriak, menendang bola, atau yang lain.

4.      Memberikan Pujian
JANGANLAH kita hanya memperhatikan perilaku anak yang tidak baik saja, tetapi HARUS memperhatikan tindakannya yang baik dan dengan tulus memberikan pujian. Contohnya, jika anak sedang bermain bola dengan teman-temannya dan anak tidak mendorong temannya tetapi bisa sabar menunggu giliran, maka pujilah bahwa tindakannya itu sangat bagus.
5.      Memberikan contoh yang baik

6.      Melakukan pengawasan terhadap anak
7.      Masa beresiko
8.      Seni membagi waktu
9.      Catatan grafik bintang
10.  Uang saku
11.  Time out
12.  Mengharapkan permintaan maaf

Catatan : Tetapi yang HARUS selalu diingat adalah bahwa TIDAK ADA resep khusus yang 100% bisa diterapkan kepada semua anak . Setiap anak mempunyai ciri khasnya masing-masing. Untuk itu perlu di perhatikan hal sebagai berikut :
1.      Kepribadian anak
2.      Usia anak
3.      Kepribadian anda sebagai orangtua
4.      Pengalaman berdisiplin pada masa kanak-kanak


Referensi
3.      Seas David O dkk. Psikologi Sosial.1985. Erlangga
4.      Dr. Rimm Sylvia. 2003. Mendidik dan menerapkan disiplin pada anak pra sekolah. Gramedia Pustaka Uatma. Jakarta
6.      http://blog.kenz.or.id/2005/04/23/agresifitas-pada-anak-kecil-aan-dan-ulil.html
7.      Krahe Barbara. 2005. Perilaku Agresif. Pustaka pelajar offset. Yogyakarta
8.      Dr.John Pearce.2000. Mengatasi perilaku buruk dan menanamkan disiplin pada anak. Arcan. Jakarta
                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar